Beranda | Artikel
Kelezatan Ilmu Syari Vs. Konser Musik
Minggu, 22 Maret 2015

Puluhan ribu orang menghadiri tabligh akbar Fadhilatusy Syaikh Prof. Dr. ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr hafidzahumallah (Guru Besar Universitas Islam Madinah dan Pengajar  tetap di Masjid Nabawi, Kota Al-Madinah An-Nabawiyyah) di Masjid Istiqlal, Jakarta, belum lama ini. Jumlah yang sebanding atau mungkin jauh lebih banyak daripada jumlah yang menghadiri konser-konser nyanyian dan musik. Hal ini seolah mengingatkan kita pada semangat para ulama dan orang-orang zaman dahulu yang belajar ilmu agama, ketika majelis-majelis ilmu para ulama biasa dihadiri oleh puluhan ribu orang, meskipun sarana transportasi dan pengeras suara ketika itu tentu masih sangat terbatas [1]. Inilah kenikmatan dan kelezatan yang diraih para salaf dahulu, yaitu kenikmatan tholabul ‘ilmi syar’i (menuntut ilmu agama), yang semakin langka didapatkan pada zaman yang penuh kemewahan dunia ini.

Kelezatan Menuntut Ilmu Syar’i

Sesungguhnya, kelezatan dan kenikmatan yang hakiki tidak terletak pada makanan, tidur, minuman, atau hubungan badan. Mengapa? Karena berbagai kelezatan dan kenikmatan ini adalah kenikmatan jasad semata yang juga dimiliki oleh binatang. Kenikmatan yang hakiki hanyalah terletak pada ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala, kenikmatan tholabul ‘ilmi, yaitu kenikmatan yang dirasakan oleh hati dan ruh. Kenikmatan ini hanyalah dirasakan oleh orang beriman, dan tidak dirasakan oleh makhluk yang lainnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَالنِّعْمَةُ نِعْمَتَانِ: نِعْمَةٌ مُطْلَقَةٌ وَنِعْمَةٌ مُقَيَّدَةٌ. فَالنِّعْمَةُ الْمُطْلَقَةُ: هِيَ الْمُتَّصِلَةُ بِسَعَادَةِ الْأَبَدِ وَهِيَ نِعْمَةُ الْإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ وَهِيَ النِّعْمَةُ الَّتِي أَمَرَنَا اللَّهُ سُبْحَانَهُ أَنْ نَسْأَلَهُ فِي صَلَاتِنَا أَنْ يَهْدِيَنَا صِرَاطَ أَهْلِهَا

Nikmat itu ada dua, (yaitu) nikmat muthlaqoh (nikmat yang bersifat mutlak) dan (nikmat) muqoyyadah (nikmat yang bersifat relatif)). Nikmat muthlaqoh adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat Islam dan Sunnah. Nikmat inilah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita untuk memintanya dalam doa kita agar Alloh menunjukkan kepada kita jalan orang-orang yang Allah karuniakan nikmat itu kepadanya.” [2]

Para ulama salaf kita yang mulia telah menyadari hal ini. Mereka telah merasakan kelezatan dengan menuntut ilmu syar’i, menikmati membolak-balik lembaran kitab, dan mereka pun telah merasakan “kenikmatan” dalam berbagai derita yang mereka alami di jalan ilmu. Bahkan, kelezatan yang mereka rasakan dengan menghafal hadits nabawi; menemukan jalan keluar permasalahan-permasalahan ilmiah; begadang untuk menulis pembahasan ilmu syar’i; atau menulis kitab yang bermanfaat untuk umat, adalah lebih besar daripada kelezatan yang diraih oleh para ahli maksiat dengan maksiat yang dia lakukan atau lebih besar dari perhiasan ahli dunia dengan berbagai dunia, istri, dan harta-harta mereka.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمن لم يغلب لَذَّة إِدْرَاكه الْعلم وشهوته على لَذَّة جِسْمه وشهوة نَفسه لم ينل دَرَجَة الْعلم ابدا فَإِذا صَارَت شَهْوَته فِي الْعلم ولذته فِي كل إِدْرَاكه رجى لَهُ ان يكون من جملَة اهله وَلَذَّة الْعلم لَذَّة عقلية روحانية من جنس لَذَّة الْمَلَائِكَة وَلَذَّة شهوات الاكل وَالشرَاب وَالنِّكَاح لَذَّة حيوانية يُشَارك الانسان فِيهَا الْحَيَوَان

”Barangsiapa yang tidak bisa memenangkan kelezatan mengenal ilmu dan syahwat (terhadap ilmu) di atas kelezatan badan dan nafsu syahwatnya, maka dia tidak akan meraih derajat ilmu sama sekali. Apabila syahwatnya tertuju pada ilmu dan kelezatannya tertuju pada meraih ilmu tersebut, maka bisa diharapkan bahwa dia termasuk dalam orang yang berilmu. Kelezatan menuntut ilmu adalah kelezatan bagi akal dan ruh, sejenis dengan kelezatan (yang dirasakan) malaikat. Adapun kelezatan syahwat, makanan, minuman, dan hubungan badan adalah kelezatan  khayawaniyyah (kebinatangan), yang di dalamnya bersekutu antara manusia dan hewan. [3]

Bagaimanakah para Ulama Salaf Meraih Kelezatan Ilmu Syar’i

Pada suatu malam Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad An-Nisfi rahimahullah tidak bisa tidur karena pikirannya sedang sedih dan susah memikirkan kemiskinannya dan hutangnya yang sangat banyak. Ketika beliau dalam keadaan seperti itu, terlintas dalam benaknya suatu masalah ilmiah yang membingungkan dirinya. Maka dia pun memikirkan dan menelaah masalah tersebut, serta melupakan kondisi kemiskinannya. Maka Allah Ta’ala pun membukakan dan memudahkan beliau untuk menemukan jawabannya. Beliau langsung bangkit di kegelapan malam dan bersuka cita karena sangat gembira.  Beliau berkata,”Di manakah raja?? … Di manakah raja??” Istrinya bertanya kepada beliau, dan beliau pun mengabarkan kepada istrinya itu tentang jawaban suatu masalah yang telah beliau temukan.  Istrinya pun sangat terkejut, karena dia mengira bahwa suaminya bersuka cita karena menemukan jalan keluar atas kemiskinan dan hutang-hutangnya. [4]

Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam rahimahullah menulis kitab Ghoribul Hadits selama empat puluh tahun. Beliau menceritakan kondisinya saat menulis kitab tersebut. Beliau berkata,”Terkadang aku menemukan faidah dari perkataan para ulama. Maka aku tambahkan faidah itu di kitabku. Sampai-sampai aku begadang sepanjang malam karena sangat gembira mendapatkan faidah itu”. [5]

Abul Ma’aali Al-Juwaini rahimahullah berkata,”Aku tidak memiliki waktu makan dan minum secara khusus. Aku tidur jika memang sudah sangat mengantuk, baik di siang hari maupun malam hari.  Aku makan jika muncul keinginan untuk makan pada saat kapan saja. Kenikmatan, permainan dan hiburanku adalah dengan memikirkan ilmu dan meraih faidah.” [6]

Nadzr bin Syamiil rahimahullah berkata,”Seseorang tidaklah mendapatkan kelezatan ilmu sampai dia lapar dan melupakan rasa laparnya”. [7]

Kenikmatan yang telah diraih para ulama di atas dengan ilmu mereka telah mengalahkan berbagai kenikmatan duniawi lainnya, termasuk kenikmatan dan kecintaan musik dan nyanyian. Kenikmatan seseorang dalam aktivitas tholabul ‘ilmi akan menyingkirkan dan mengalahkan kenikmatan dan kecintaan terhadap musik dan nyanyian. Taruhlah jika pada zaman dahulu sudah ada konser-konser musik, maka akal sehat dan fitrah yang bersih akan cenderung meng-asosiakan konser-konser musik itu dengan orang-orang yang terhalang dari meraih kelezatan ilmu dan ibadah. Adapun para ulama, orang-orang yang shalih, tentu mereka akan memilih menghadiri majelis-majelis ilmu, karena di situlah letak kelezatan dan kebahagiaan mereka di dunia ini.

Kecintaan seseorang terhadap musik dan nyanyian akan menyingkirkan kecintaan terhadap ilmu, dan juga kecintaan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidaklah mungkin kecintaan terhadap ilmu dan kecintaan terhadap musik dan nyanyian akan berkumpul dalam satu jiwa yang sama. Realita kaum muslimin saat ini menunjukkan, didorong oleh rasa cinta mereka terhadap musik dan nyanyian, mereka sampai hapal puluhan lirik lagu (dan siapa penyanyinya) dengan begitu mudahnya, namun mereka sulit untuk diajak menghapal Al-Qur’an. Maka benarlah bahwa nyanyian merupakan salah satu cara setan untuk menjauhkan manusia dari jalan ilmu, jalan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

ζ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman [31]: 6)

Tentang maksud dari firman Allah Ta’ala “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di atas, salah seorang sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, (yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’) adalah nyanyian”. Beliau mengulangi sumpahnya tersebut sampai tiga kali. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ma’khul, Amr bin Syu’aib, dan Ali bin Badzimah radhiyallahu ‘anhum. [8]

Semoga Allah Ta’ala memberikan anugerah kepada kita untuk tetap istiqomah dalam meraih kelezatan dan kenikmatan ilmu syar’i.

Selesai disusun ba’da isya’, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 28 Jumadil Ula 1436

Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim

***

Catatan kaki:

[1] Silakan disimak tulisan sahabat kami di:

http://muslimafiyah.com/majelis-ilmu-mengalahkan-konser-musik.html

[2] Ijtima’ Al Juyuus Al Islamiyyah, hal. 2/33 (Maktabah Syamilah).

[3] Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/142 (Maktabah Syamilah).

[4] Diringkas dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir, 17/12. Dikutp dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 130.

[5] Thabaqat Al-Hanabilah, 1/261. Dikutp dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 130.

[6] Tabyiinu Kadzbil Muftari, karya Ibnu Asakir Ad-Dimasyqi. Dikutp dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 132.

[7] Tadzkiratul Huffaadz, 1/314. Dikutp dari Kaifa Tatahammasu li Thalabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 132.

[8] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 6/330-331.

Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Hadist Tentang Anak Yang Meninggal Sebelum Baligh, Pengorbanan Suami, Ayat Tentang Riya, Islam Agama Yang Sempurna


Artikel asli: https://muslim.or.id/24992-kelezatan-ilmu-syari-vs-konser-musik.html